PT WRST merupakan perusahaan toll manufacturing di bidang tekstil yang memproduksi berbagai jenis garment seperti baju, celana, dan kaos, berdasarkan pesanan dari pihak afiliasi, SKP Pte., Ltd. Seluruh bahan baku disediakan oleh pihak afiliasi, sementara PTWRST hanya melakukan proses produksi dan membebankan mark-up atas biaya operasional. Dengan karakter tersebut, PT WRST tidak menanggung risiko persediaan, risiko pemasaran, maupun risiko kredit. Setiap awal tahun, perusahaan menetapkan mark-up antara 3%–5% berdasarkan standar biaya internal yang menurutnya selaras dengan praktik industri untuk entitas manufaktur berfungsi terbatas.
Sengketa muncul ketika DJP menetapkan Koreksi Positif atas Peredaran Usaha sebesar Rp4.671.277.888. DJP berpendapat bahwa hubungan usaha PT WRST dan afiliasi sangat terintegrasi sehingga metode Transactional Net Margin Method (TNMM) yang digunakan PT WRST tidak tepat. DJP kemudian menerapkan Profit Split Method (PSM) dan menghasilkan alokasi laba yang lebih tinggi bagi PT WRST.
PT WRST menolak koreksi tersebut, dengan alasan bahwa dokumentasi transfer pricing PTWRST telah disusun sesuai dengan PMK 213/2016, PT WRST telah menerapkan TNMM dengan Profit Level Indicator berupa Full Cost Mark-Up (FCMU). Hasil benchmarking juga menunjukkan rentang kewajaran 0,27%–3,14% dengan median 1,50%, sementara margin aktual perusahaan sebesar 2,51%. Dengan margin yang berada dalam rentang kewajaran, PTWRST menilai bahwa transaksinya telah sesuai prinsip arm’s length. PT WRST juga menegaskan bahwa OECD Guidelines menyatakan setiap titik dalam rentang kewajaran sudah memenuhi prinsip kelaziman usaha, sehingga tidak diperlukan penyesuaian tambahan.
Dalam koreksinya, DJP menggunakan pembanding yang sebagian besar berasal dari sektor distribusi farmasi, nutrisi, dan alat kesehatan, yang menurut PT WRST tidak relevan dengan karakteristik industri tekstil. Selain itu, DJP menggunakan dasar biaya yang berbeda antara para pihak total biaya (COGS+OPEX) bagi PT WRST namun hanya OPEX bagi afiliasi yang dinilai menimbulkan hasil perhitungan PSM yang tidak seimbang dan berpotensi bias.
Majelis menilai bahwa inti sengketa terletak pada pemilihan metode dan kualitas pembanding. Berdasarkan dokumen dan argumen para pihak, Majelis menegaskan bahwa karakter PT WRST sebagai toll manufacturer justru menjadikan TNMM sebagai metode yang paling tepat dan lazim digunakan pada industri yang serupa. Majelis juga mengacu pada OECD Guidelines paragraf 3.55, 3.60, dan 3.62 yang menegaskan bahwa selama margin aktual berada dalam rentang kewajaran, tidak diperlukan koreksi tambahan. Dalam perkara ini, margin 2,51% PTWRST berada dalam rentang interkuartil, sehingga transaksi dinilai memenuhi prinsip arm’s length.
Majelis tidak sependapat dengan empat perusahaan pembanding yang dipilih oleh DJP, yaitu PT TRS Tbk yang bergerak di distribusi perlengkapan bayi dan obat-obatan, PT EMT Tbk yang berfokus pada distribusi farmasi dan nutrisi, PT MPI Tbk yang beroperasi di bidang distribusi farmasi serta alat kesehatan, dan AGEP Co., Ltd. yang bergerak dalam distribusi batubara bituminous. Menurut Majelis karakteristik usaha keempat perusahaan tersebut sama sekali tidak mencerminkan profil kegiatan toll manufacturing tekstil yang dijalankan PT WRST, baik dari sisi fungsi, aset, risiko, maupun rantai nilai.
Selain itu, Majelis menilai bahwa metode PSM yang diterapkan DJP dilakukan dengan dasar biaya (cost base) yang tidak konsisten antar pihak sehingga menghasilkan pembagian laba yang tidak proporsional. DJP menghitung bobot kontribusi PT WRST berdasarkan total biaya (COGS + OPEX), sementara bobot kontribusi pihak afiliasi dihitung hanya menggunakan OPEX. Perbedaan cost base tersebut menciptakan bias yang signifikan, karena secara prinsipil kedua pihak harus dievaluasi dengan dasar yang sama agar alokasi laba mencerminkan proporsi fungsi dan kontribusi ekonomi secara wajar. Ketidakkonsistenan ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat penerapan PSM oleh DJP dinilai tidak dapat dipertahankan.
Dengan mempertimbangkan kualitas pembanding yang tidak relevan dan inkonsistensi dasar perhitungan tersebut, Majelis menyimpulkan bahwa koreksi peredaran usaha sebesar Rp4.671.277.888 tidak memiliki dasar yang memadai dan karenanya harus dibatalkan.
Putusan ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi wajib pajak. Pertama, karakterisasi entitas melalui analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR) merupakan fondasi utama dalam menentukan metode transfer pricing. Kedua, putusan ini mempertegas pentingnya menyusun benchmarking yang relevan dengan industri, memastikan margin berada dalam arm’s length range. Ketiga, kualitas perusahaan pembanding sangat menentukan hasil analisis kewajaran. Terakhir, dokumentasi transfer pricing yang lengkap dan disusun sesuai PMK 213/2016 terbukti menjadi alat pertahanan yang efektif. Dalam konteks praktik transfer pricing di Indonesia, putusan ini menjadi rujukan penting bahwa pemilihan metode harus selaras dengan profil usaha, dan koreksi tidak dapat dipaksakan apabila perusahaan telah menunjukkan kewajaran laba dalam rentang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini